Kamis, 13 Oktober 2011

Filsafat

FILSUF DAN SENI

Kant dan Hegel adalah dua filsuf raksasa yang gagasan keduanya tetap menjadi bahan perdebatan yang sangat menentukan perkembangan filsafat modern. Perbedaan pandangan di antara kedua filsuf ini, yang kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh para pengikut masing-masing, mencakup hampir semua bidang filsafat: epistemologi, ontologi, politik, teologi, etika dan tentu saja seni. Para komentator umumnya sepakat bahwa kedua filsuf ini sangat menentukan diskusi teoretis mengenai seni zaman modern. Mungkin tidaklah terlalu berlebihan mengatakan bahwa diskusi itu tetap berkisar antara penolakan atau penerimaan salah satu di antara keduanya atau pengkombinasian kedua-duanya.

Paling tidak ada tiga gagasan utama filsafat seni Hegel yang kemudian sangat mempengaruhi teori sesudahnya, terutama Marxis-Hegelian dan variannya, yakni pertama, seni mengandung perspektif historis—berbeda dari Kant yang menganggap seni otonom dari dimensi eksternal, kedua, analisa seni harus terfokus pada karya seni itu sendiri—berbeda dari Kant yang terfokus pada penikmat seni, dan ketiga, seni merupakan artikulasi Ide atau Kebenaran secara indriawi—Kant tidak bicara mengenai “isi” karya seni. Butir pertama dan ketiga terlihat jelas dalam konsepsi seni para filsuf seperti Marx, Engels, Georg Lukacs, Lucien Goldmann, Adorno dan Benjamin yang menganggap seni sebagai artikulasi kesadaran historis tertentu, baik berupa kepentingan kelas, ideologi, doktrin filosofis maupun pandangan dunia (Weltanschauung). Dengan konsep realisme sosialisnya, Lukacs mengatakan bahwa seni tidak dapat dipahami terlepas dari konteks sosio-historisnya. Sementara Benjamin, Marcuse dan Adorno berbicara mengenai karya seni yang mampu menjadi sarana kritik sosial dengan menyingkapkan ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat.

Hegel mengatakan bahwa seni mengandung kebenaran (Wahrheitsgehalt) yang sifatnya logis dan rasional, dan oleh karena itu seni harus dipahami secara konseptual, dengan akibat bahwa seni tidak mengandung karakter enigmatik. Kant justru kebalikannya. Menurutnya, seni tidak bisa dikonseptualisaikan dan karena itu bersifat enigmatik, tapi ia tidak melihat isi Kebenaran dalam seni. Demikianlah teori-teori seni modern (atau juga posmodern) bisa dikatakan merupakan osilasi antara kedua filsuf ini. Adorno, misalnya, mengatakan bahwa seni mengandung kebenaran (mengikuti Hegel dan mengkritik Kant) tapi kebenaran seni tak bisa dikonseptualisasikan (mengikuti Kant dan mengkritik Hegel). Filsafat seni Adorno adalah kombinasi antara “tanpa konsep”-nya Kant dan “isi kebenaran”nya Hegel. Gadamer juga mirip dengan itu. Menurutnya, seni mengandung dimensi historis. Konsep sentral filsafat hermeneutika Gadamer, yakni wirkungsgeschichtliches Bewusstsein (kesadaran historis yang bekerja dan membentuk serta mempengaruhi cara kita memahami dunia) jelas diturunkan dari Hegel. Seni, menurut filsuf ini, mengandung kebenaran (mengikuti Hegel) tapi kebenaran itu tak bisa dikonseptualisasikan (mengikuti Kant) karena seni adalah upaya permainan pencarian kebenaran yang tak habis-habisnya; seni merupakan sumber interpretasi yang inexhaustible.

Terakhir, mengenai tesis kematian seni. Beberapa komentator mengkritik Hegel dengan mengatakan bahwa ia adalah filsuf pembunuh seni. Tesis kematian seni pada Hegel diasalkan dari kalimat yang dikutip pada awal tulisan ini, yakni bahwa sekalipun seni berusaha untuk menyempurnakan diri, namun ia tidak memadai menjadi sarana untuk menyingkapkan Kebenaran, dan oleh karena itu seni harus dinegasi oleh agama. Seorang Hegelian Italia, Benedetto Croce, misalnya, mengatakan bahwa filsafat seni Hegel tidak lain dari sebuah pidato pemakaman seni. Hegel telah mengubur seni dan mempersilakan filsafat mengukir epitaf di atas makam itu.”

Menurut saya, kritik di atas tidak tepat. Kita harus menempatkan persoalan ini pada konteksnya, yakni sistem filsafat Hegel sendiri. Rangkaian negasi yang membentuk keseluruhan sistem itu tidak mengimplikasikan bahwa apa yang telah dinegasi menjadi tidak berlaku atau mati. Negasi itu bukanlah negasi dalam kerangka waktu, melainkan dalam kerangka logis. Negasi itu berlangsung berdasarkan prinsip kebebasan yang semakin besar dan rasional, sesuai dengan hakikat Rob. Dalam Filsafat Hukum, misalnya, keluarga dinegasi oleh civil society dan negara kemudian, sebagai sintesis, menegasi civil society. Ini tidak berarti bahwa keluarga atau civil society telah mati atau bubar setelah mengalami negasi. Yang mau diperlihatkan Hegel melalui negasi itu adalah bahwa kemampuan momen yang dinegasi itu sebagai sarana perealisasian Roh Negara adalah terbatas atau tidak memadai. Semua momen yang dinegasi itu tetap hadir, Roh tetap menyatakan diri melalui momen-momen tersebut, tapi hanya pada Filsafatlah Roh menyatakan diri dengan cara yang sesuai dengan hakikatnya sendiri.


Penulis

BMG (Boedylaw Management Group)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar