Sabtu, 22 Oktober 2011

Mahatma Gandhi

Menempa diri Jika dikaji riwayat hidupnya, sebenarnya Gandhi pada awal mula bukan orang istimewa. Ia canggung, pemalu, dan tidak menonjol dalam pelajaran di sekolah. Sepertinya tak ada bakat khusus yang melekat pada dirinya. Mula pertama menjadi pengacara di India, ia juga tak begitu berhasil.

Setelah menetap di Afrika Selatan, memperjuangkan hak-hak warga India di sana, ia berhasil menempa diri menjadi pribadi tangguh—sekuat granit—yang berkomitmen penuh pada nilai-nilai kebenaran dan pantang kekerasan. Dengan tekun belajar, rajin introspeksi disertai disiplin tinggi, ia mampu mengangkat diri sebagai pemimpin bermartabat yang berusaha menyatukan pikiran dengan perbuatan.

Agaknya, Gandhi adalah manusia paradoksal. Di satu pihak ia lemah lembut secara fisik dan pantang kekerasan, tetapi di pihak lain ia pribadi pantang menyerah, berani masuk keluar penjara. Ia suka merenung, menuangkan pikirannya dalam tulisan, yang jika dikumpulkan dapat mencapai 80 jilid, tetapi serentak dengan itu dia adalah manusia tindakan. Ia idealis, tetapi pada saat bersamaan memperhitungkan realitas medan untuk mencapai tujuan

Tujuh dosa sosial

Gandhi banyak melahirkan idiom-idiom yang membuat orang tercenung, seperti ”Anda mesti menjadi perubahan yang Anda ingin saksikan”. Atau, ”Ukuran kebesaran suatu negara harus didasarkan pada betapa pedulinya dia pada penduduknya yang paling rentan/lemah”.

Gandhi tak hanya bicara yang bagus-bagus, tetapi berdiri di garda depan membela kaum paria, kelompok paling rendah, untuk memperoleh status persamaan hak.

Namun, ungkapannya yang paling menggigit adalah: ”Kekayaan tanpa kerja”, ”Kenikmatan tanpa nurani”, ”Ilmu tanpa kemanusiaan”, ”Pengetahuan tanpa karakter”, ”Politik tanpa prinsip”, ”Bisnis tanpa moralitas”, dan ”Ibadah tanpa pengorbanan”. Ia menyebutnya sebagai tKalau kita melihat ke sekeliling, mencermati berbagai kejadian yang ditampilkan media atau menelisik ucapan atau gerak-gerik tokoh-tokoh (birokrasi, politik, bisnis, akademi), bandingkan perilaku mereka dengan ungkapan Gandhi. Sebagian tidak sama, tetapi sebagian lagi sepertinya punya kemiripan.

Dunia sepertinya sudah terbelah. Sebagian cukup besar masih mempunyai nurani, kemanusiaan, karakter, prinsip, moralitas, mau berkorban dan berkarya. Sebagian lainnya karena berbagai faktor, seperti kemudahan kesempatan, rayuan kedudukan, pengaruh uang, bujukan sekeliling, atau tuntutan dari atasan, menjadi bergeser posisinya.

Mula-mula bergerak ke wilayah abu-abu untuk kemudian beringsut mendekati zona bebas nilai. Yang penting adalah menjadi pemenang, satu-satunya parameter yang dikedepankan untuk menentramkan hati.

Gandhi sendiri seperti ditulis Richard Granier, Commentary, 1983, bukanlah orang suci, sempurna, tanpa punya kelemahan pribadi. Ia misalnya mempunyai hubungan kurang harmonis dengan istri dan anak-anaknya. Gandhi juga lebih sering dan lebih banyak dikelilingi sejumlah besar pengikut dan kurang mempunyai rekan sederajat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar