Kamis, 13 Oktober 2011

Sejarah Ponpes Tebu Ireng

Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia 2 (Kasus Tebuireng)

A. Profil Pesantren Tebuireng

1. Sejarah Tebuireng

Tebuireng, sebuah pondok pesantren di Dukuh Tebuireng, desa Cukir, kecamatan Diwek, terletak pada kilometer ke delapan dari kota Jombang arah ke selatan, secara geografis letak Pondok Pesantren Tebuireng ini cukup strategis, karena ia terletak tepat di pertigaan jalan yang menuju ke Jombang, Malang, Kediri. Tepatnya berada di tepi pertigaan jalan provinsi yang jika ke utara ke arah Jombang, ke barat daya ke arah Pare Kediri, dan ke tenggara ke arah Batu Malang.

Pesantren Tebuireng pertama kali didirikan oleh K.H Hasyim Asy’ari di atas sebidang tanah yang telah dibeli dari seorang dalang di desa Tebuireng, tepatnya pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H atau sekitar tahun 1899 M. Pondok ini didirikan dari sebuah teratak bambu luasnya hanya sekitar 10 meter persegi. Teratak ini terbagi atas dua buah petak rumah, yang sebuah untuk tempat tinggal Kyai Hasyim dan yang sebuah lagi digunakan sebagai tempat mengaji dan sembahyang sholat. Murid yang bersamanya sekitar 8 orang yang dibawanya sejak dari pesantren Keras, di bagian selatan Jombang tempat ia berasal. Dalam tempo tiga bulan, 28 orang di Tebuireng menjadi santri Kyai Hasyim[1].

Sebelum berdirinya pesantren Tebuireng, desa Tebuireng memang dikenal sebagai desa yang masyarakatnya memiliki kebiasaan-kebiasaan buruk, tidak agamis, seperti mabuk, berjudi, merampok, serta berzina. Tak ayal para Kyai lain yang semasa dengan Kyai Hasyim menertawakan kekonyolan keputusan beliau mendirikan pesantren di Tebuireng, sebuah desa terpencil yang jauh dari kota Jombang.

Namun, keputusan Kyai Hasyim untuk mendirikan pesantren baru ini bukanlah tanpa maksud. Beliau mempunyai tujuan, yaitu untuk menyampaikan dan mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya, dan menggunakan pesantren sebagai sebuah agent social of change.

Patut dicatat bahwa di sana terdapat sebuah pabrik gula, yaitu Pabrik Gula Cukir, kurang lebih berjarak 5 mil dari Pesantren Tebuireng, pabrik ini didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1853. Pada masa itu, gula merupakan sumber terpenting perdagangan luar negri bagi kaum kolonial. Dalam konteks ini, berdirinya pesantren Tebuireng vis-à-vis pabrik milik orang asing bisa dilihat bahwa berdirinya pesantren tersebut merupakan perlawanan terhadap hegemoni Belanda[2].

2. Perkembangan Pesantren

Perkembangan Pesantren yang dibahas disini adalah Metode Pembelajaran Kitab-kitab Islam Klasik dan Aktivitas Pendidikan di Pesantren Tebuireng.

Dalam proses pengajaran kitab-kitab klasik, Pesantren Tebuireng memakai dua metode, yakni Metode Pengajaran dan Metode Takhasus.

a. Metode Pengajaran

Sistem pengajaran yang diterapkan untuk mempelajari kitab-kitab Islam klasik di Pesantren Tebuireng adalah bertempat di masjid sebagai sentra pengajaran, dengan cara membentuk halaqoh.

1) Metode Bandongan

Dalam pengajaran kitab-kitab Islam klasik yang menggunakan metode Bandongan, prosesnya berlangsung satu jalur (monolog), dimana kyai membaca, menerjemahkan dan kadang-kadang memberikan penjelasan dan komentar. Sedang santri hanya menyimak penuh perhatian sambil mencatat makna harfiah dan memberikan symbol-simbol I’rab. Dalam metode ini, dialog antara Kyai dan santri tidak banyak terjadi.

2) Metode Sorogan

Metode sorogan secara umum adalah metode yang bersifat individual, dimana santri satu persatu dating menghadap yai dengan membawa kitab tertentu. Kyai membacakan kitab itu beberapa baris dengan makna yang lazim dipakai di pesantren. Seusai kyai membaca, santri mengulang ajaran kyai itu. Setelah ia sianggap cukup, maju santri lain, demikian seterusnya.

3) Metode Muhawaroh

Metode Muhawaroh ini merupakan latihan bercakap-cakap dalam bahasa Arab yang diwajibkan bagi semua santri.

4) Metode Mudzakaroh

Mudzakaroh merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniyah seperti ibadah dan aqidah serta masalah agama pada umumnya. Mudzakaroh di Tebuireng dapat dibedakan atas dua tingkatan, yaitu

a) Mudzakaroh yang diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah dengan tujuan melatih para santri agar terlatih memecahkan persoalan dengan menggunakan kitab-kitab yang tersedia.

b) Mudzakaroh yang dipimpin oleh kyai, dimana hasil mudzakaroh para santri diajukan untuk dibahas dan dinilai seperti dalam suatu seminar. Biasanya lebih banyak berisi suatu Tanya jawab.

b. Metode Takhasus

Yang dimaksud dengan takhasus adalah pengambilan spesialisasi dari kitab-kitab Islam klasik yang dipelajari beserta perangkat ilmu yang mendukungnya. Secara umum disiplin ilmu yang dipelajari di pesantren Tebuireng melalui kitab-kitab Islam klasik adalah meliputi: 1). Ilmu Tafsir, 2) Ilmu Hadits, 3) Ilmu Fiqih, 4) Ilmu UShul Fiqih, 5) Qawaid Fiqih, 6) Ilmu Kalam, 7) Tasaawuf, dsb. Yang masing-masing disiplin ilmu itu sudah ditentukan mazhab yang dianut maupun buku-buku teks yang digunakan sebagai standarisasi[3].

Pesantren Tebuireng, dalam buku Tradisi Islam Karya Zamakhsyari Dhofier (1982), mempunyai sepuluh Aktivitas Pendidikan yaitu: 1) Kelas Bandongan, 2) Madrasah Ibtidaiyah, 3) Sekolah Persiapan Tsanawiyah, 4) Madrasah Tsanawiyah, 5) Madrasah Aliyah, 6) SMP, 7) SMA, 8) Madrasah al-Huffadz, 9) Jam’iyyah, 10) Universitas Hasyim Asy’ari[4].

Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, dalam buku Kepemimpinan Kyai, Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, karya Imron Arifin (1993), Pesantren Tebuireng juga mempunyai sepuluh aktivitas pendidikan, akan tetapi ada penambahan dan pengurangan pada aktivitas sebelumnya, Aktivitas Pendidikannya yaitu: 1) Pengajaran Kitab-kitab Islam Klasik, 2) Madrasah Tingkat Persiapan, 3) Madrasah Tsanawiyah, 4) Madraah Aliyah, 5) SMP, 6) SMA, 7) Madrasah al-Huffadz, 8) Jam’iyyah, 9) IKAHA, 10) Pendidikan Bahasa Arab[5].

Pada saat ini, Pesantren Tebuireng mempunyai tujuh Unit Pendidikan, yaitu: 1) Madrasah Diniyah, 2) Madrasah Tsanawiyah, 3) Madrasah Aliyah, 4) SMP, 5) SMA, 6) Madrasah Mu’allimin, 7) Ma’had Aly[6].

3. Suksesi Kepemimpinan Pesantren

a. KH. Abdul Wahid Hasyim (1947-1950)

Sepeninggalan Kyai Hasyim kepemimpinan pesantren digantikkan oleh putera tertua Kyai Hasyim yakni KH. Abdul Wahid Hasyim, Kyai Wahid memainkan peran sangat penting bagi Modernisasi Tebuireng. Pada tahun 1932, ia mengusulkan perubahan radikal dalam sistem pengajaran pesantren, yakni agar sistem bandongan diganti dengan sistem tutorial yang sistematis. Kyai Hasyim tidak menyetujui usulan tersebut.

Akan tetapi Kyai Hasyim menyutujui usulan Kyai Wahid yang lain, yakni pendirian madrasah Nidzamiyah pada tahun 1934, yang mana pelajaran umum merupakan 70% dari keseluruhan kurikulum madrasah. Madrasah ini pada akhirnya dibubarkan saat Kyai Wahid mulai aktif dalam kepemimpinan NU pada tahun 1938[7].

b. KH. Abdul Karim Hasyim (1950-1951)

Tahun 1950, karena Kyai Wahid diangkat menjadi Mentei Agama, maka kepemimpinan pesantren Tebuireng menjadi kosong, atas musawarah keluarga Bani Hasyim maka diangkatlah KH. Abdul Karim Hasyim sebagai pengasuh pesantren.

Ketika Kyai Karim memimpin Tebuireng sistem madrasah diorganisasi sedemikian rupa untuk dkelola secara berbeda dengan sistem pesantren, yang di tahun 1950 adalah masa suram bagi pesantren, karena pada tahun 1949 pemerintahan RI menentukan kebijakan dengan memberikan prioritas dan faslitas kepada sistem persekolahan.

c. KH. Achmad Baidhawi (1951-1952)

Diantara pemimpin pesantren Tebuireng Kyai Baidhawi merupakan seorang kyai yang memfokuskan dirinya pada pada pendidikan dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Beliau adalah seorang pendidik yang benar-benar menekuni dunia pendidikan dan sedikitpun tidak mau terlibat dalam urusan politik sebagaimana para pemimpin Tebuireng sebelumnya.

Pada kepemimpinan Kyai Baidhawi ini merupakan tradisi baru, dimana seorang menantu dapat menduduki kepemimpinan pesantren pada waktu anak-anak Kyai Hasyim yang lainnya masih hidup.

d. KH. Abdul Kholik Hasyim (1953-1965)

Kyai Kholik merupakan putera keenam dari Kyai Hasyim. Nama sebenarnya adalah Hafiz. Setelah dewasa nama lengkapnya KH. Abdul Kholik Hasyim. Menghadapi masa kemerdekaan, beliau menjadi tentara sejak tahun 1994 dan menjadi orang dekat Jendral Sudirman. Pada tahun 1952 ia mengundurkan diri dari kemiliteran dengan pangkat Letkol.

Pada masa kepemimpinan Kyai Kholik selain sistem pengajaran kitab diberi semangat kembali, madrasah yang telah dirintis oleh Kyai Karim tetap dipertahankan di Tebuireng yang terdiri atas tingkatan Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SMP), dan Mu’allimin yang masing-masing kurikulumnya 70% ilmu agama, dan 30% ilmu umum.

e. KH. Muhammad Yusuf Hasyim (1965-2006)

Kyai Yusuf merupakan putera bungsu (kesepuluh) dari Kyai Hasyim dari istrinya Nyai Nafiqoh, menggantikan kedudukan kakaknya Kyai Kholiq yang wafat pada Juni 1965. Kyai Yusuf sendiri masih tergolong berusia muda yakni berumur 36 tahun ketika memimpin Tebuireng.

Di bawah kepemimpinan Kyai Yusuf disamping tradisi lama tetap dipertahankan dan berlangsung di pesantren Tebuireng, utamanya pengajaran kitab-kitab Islam klasik, terjadi pula perkembangan-perkembangan baru. Pertama, beliau mendirikan Universitas Hasyim Asy’ari tahun 1967. Kemudian mendirikan madrasah Huffadz pada tahun 1971. Tahun 1975 mendirikan SMP dan SMA[8].

f. KH. Salahudin Wahid (2006-Sekarang)

Periode kepemimpinan Ir. H. Salahuddin Wahid atau biasa dipanggil Gus Sholah di Tebuireng boleh dibilang sebagai Periode Revitalisasi. Sebab sejak awal kepemimpinannya, putra ketiga Kyai Wahid Hasyim ini banyak melakukan pembenahan internal di hampir semua sektor. Segala hal yang dirasa kurang maksimal dibenahi dan jika perlu ditambahi, baik itu bersifat fisik maupun non-fisik.

Selama memimpin Tebuireng, Gus Solah berupaya menggugah kesadaran para guru, Pembina santri, dan karyawan Tebuireng, untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kinerja berdasar keikhlasan dan kerjasama. Langkah kongkritnya adalah mengadakan pelatihan terhadap para guru dengan mendatangkan konsultan pendidikan Konsorsium Pendidikan Islam (KPI), yang juga membantu para kepala sekolah untuk menyusun SOP, Standard Operating Procedure, bagi kegiatan belajar mengajar (KBM)[9].

B. Profil Pendiri Pesantren Tebuireng

1. Biografi K.H Hasyim Asy’ari

Kyai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri Pesantren Tebuireng, adalah seorang yang luar biasa. Di seluruh Jawa, para kyai mempersembahkan gelar “Hadratus-Syeikh” yang artinya “Tuan Guru Besar”[10]. Beliau lahir di Gedang, Jombang, Jawa Timur, hari Selasa, 24 Zulhijjah 1287 H bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. ayahnya bernama Kyai Asy’ari, ulama asal Demak, sedang ibunya bernama Halimah, putri Kyai Usman, pengasuh pesantren Gedang, tempat ia dilahirkan[11].

Semasa hidupnya, Kyai Hasyim mendapatkan pendidikan dari Ayahnya sendiri terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu al-Qur’an dan penguasaan beberapa literatur penguasaan. Pada usia 21 tahun Kyai Hasyim melangsungkan pernikahan dengan Khadijah, puteri dari K.H Ya’kub.

Pasca pernikahan Kyai Hasyim berangkat ke Mekkah guna untuk bermukim disana dan menuntut ilmu. Dalam perjalanan pencarian ilmu pengetahuan di Mekkah, Kyai Hasyim bertemu beberapa tokoh yang kemudian dijadikannya sebagai guru, diantaranya adalah Syaikh Mahfuzh al-Tarmisi, Syaikh Ahmad Khatib dari Mingkabau, dan Syaikh al-‘Allamah Abdul Hamid al-Darustani.

Pada tahun 1900 M. yang bertepatan tahun 1314 H. kyai Hasyim pulang ke kampung halamannya. Dan memilih berpindah tempat dengan memilih daerah yang penuh tantangan yang dikenal sebagai daerah “hitam”. Tepat pada tanggal 26 Rabiul Awal 1320 H. bertepatan dengan 6 Februari Kyai Hasyim mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng[12].

2. Pemikiran Kependidikan K.H Hasyim Asy’ari

Karya Kependidikan Kyai Hasyim yang berjudul Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim adalah kitab yang ditulisnya atas dasar kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang luhur.

Kandungan yang terdapat dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian:

a. Kelebihan Ilmu dan ilmuwan

Menurut Kyai Hasyim dalam menuntut ilmu itu perlu diperhatikan dua hal. Bagi murid hendaknya meiliki niat yang suci lagi luhur, dan untuk guru hendaknya mempunyai niat yang tulus tidak mengharapkan materi semata-semata.

Mengenai kelebihan Iluwan jika dibandingkan dengan orang awam menurut Kyai Hasyim itu bagaikan terangnya bulan purnama dan cahaya bintang.

b. Tanggung jawab dan tugas peserta didik

Untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, yang harus dicamkan oleh peserta didik adalah membersihkan hati dari berbagai gangguan-gangguan material-keduniaan dan hal-hal yang merusak sistem kepercayaan (aqidah).

Dalam etika peserta didik terhadap pendidiknya adalah melakukan perenungan dan meminta petunjuk kepada Allah SWT dalam memilih guru, sementara etika peserta didik dalam hal pelajaran adalah mendahulukan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain daripada ilmu-ilmu yang lain.

c. Tanggung jawab dan tugas pendidik

Kyai Hasyim memberikan catatan kepada para pendidik agar dirinya tertanam sifat berusaha sekuat tenaga untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik ketika sendirian maupun ketika berada di tempat umum. Sedangkan etika pendidik yang berkaitan dengan pelajaran adalah etika mensucikan diri dari hadats dan kotoran, sementara etika terhadap peserta didik adalah untuk berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at islam[13].



[1] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, Malang: Kalimasahada Press, 1993, cet. Ke-1, hal. 51.

[2] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara, Jakarta: Kencana, 2006, cet. Ke-1, hal. 234-235.

[3] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, Malang: Kalimasahada Press, 1993, cet. Ke-1, hal. 113-121.

[4] Zamakhsyari Dofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994, cet. Ke-6, hal 113.

[5] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, Malang: Kalimasahada Press, 1993, cet. Ke-1, hal. 108.

[7] Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren: Pandangan KH. Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: ITTAQA Press, 2001, cet. Ke-1, hal 21.

[8] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, Malang: Kalimasahada Press, 1993, cet. Ke-1, hal. 81-103

[9] Uniez, KH. Salahudin Wahid: Revitalisasi Pesantren, dipostkan pada tanggal 8Mei 2009, <http:/ /pesantren.tebuireng.net/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=56>, diakses pada tanggal 03 N0vember 2009.

[10] Zamakhsyari Dofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994, cet. Ke-6, hal 92.

[11] Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren: Pandangan KH. Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: ITTAQA Press, 2001, cet. Ke-1, hal 7.

[12] Suwendi, Konsep Kependidikan KH. Hasyim Asy’ari, Jakarta: LeKDiS, 2005, cet. Ke-1, hal. 14-28.

[13]Suwendi, Konsep Kependidikan KH. Hasyim Asy’ari, Jakarta: LeKDiS, 2005, cet. Ke-1, hal. 41-53.

1 komentar: